Senin, 16 April 2012

Problematika Anak Jenius di Indonesia


Siapa yang bilang orang Indonesia tidak bisa bersaing di negara lain? Siapa yang bilang orang indonesia tidak bisa hebat di negara lain?
Dua pertanyaan diatas merupakan pertanyaan dasar sekaligus menjadi pecutan motivasi bagi masyarakat Indonesia untuk dapat instropeksi diri terhadap apa yang telah dia lakukan untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia. Puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan ilmuwan Indonesia bisa bersaing dan menjadi orang hebat dan cukup berpengaruh di beberapa negara besar. Seperti apapun kondisi mereka sekarang, mereka tetaplah masyarakat Indonesia seperti masyarakat indonesia pada umumnya.
Tiga tahun yang lalu, 2006, Republik Indonesia berhasil secara spektakuler merebut juara dunia Olimpiade Fisika Internasional ke 37 di Singapura, ”37th International Physics Olympiad”. Inilah Olimpiade Fisika terbesar sepanjang sejarah, diikuti para siswa paling cerdas dari 85 negara, dan anak Indonesia berhasil menjuarainya.
Kita berhasil merebut total 4 Emas, dan 1 Perak, bahkan Jepang saja hanya dapat 3 Perunggu! Ini membuktikan bahwa anak-anak Indonesia tidak sejajar dengan anak-anak cerdas lain di dunia, kita adalah juara, pemenang, nomor 1, lebih hebat dari semua lainnya. Dan pada bulan April 2009, Indonesia berhasil lagi menjadi Juara Umum di International Conference of Young Scientists (ICYS) di Polandia, mengalahkan pelajar dari negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, Amerika, dan Rusia! Total 6 Emas direbut anak-anak Indonesia dari berbagai bidang ilmu, sementara peserta-peserta dari negara maju hanya mampu dapat paling banyak 3 emas. 
Tetapi apakah putra-putra terbaik Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa ini otomatis akan terjamin masa depannya? Pendidikan misalnya????




PEMBAHASAN


I. Definisi Jenius Dan Faktor Yang Mempengaruhinya
Pada umumnya kata jenius dipakai untuk menyebut kelompok orang yang mencapai skore 130 ke atas dalam tes kecerdasan (tes IQ). Menurut Thomas Amstrong dalam bukunya Awakening Genius in The Classroom menyatakan arti jenius tersebut tidak tepat lagi digunakan. Kini sudah banyak diyakini orang bahwa IQ bukanlah penentu utama keberhasilan seseorang. Pengaruh EQ, dan SQ kini dipercayai lebih penting dalam menentukan keberhasilan seseorang. Sedangkan kata jenius berasal dari bahasa Yunani dan bahasa Latin yang berarti memperanakkan, dilahirkan atau dijadikan. Kata ini juga diartikan meriah, memeriahkan, riang gembira dan membantu pertumbuhan. Dalam pandangan pendidikan kata jenius berarti "melahirkan kegembiraan dalam belajar". Kejeniusan anak akan muncul bila ia mengalami kegembiraan dalam belajar, mengalami kegembiraan dengan kemajuan dan pertumbuhan yang mereka alami. Inilah arti jenius menurut pandangan Thomas Amstrong yang dikatakannya lebih mendekati teori-teori kecerdasan yang berkembang pada masa sekarang.
Dan di Indonesia menurut Amril Muhammad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa (Asosiasi CB/BI), mengatakan, dari penelitian yang dilakukan, terdapat sekitar 2,2% anak usia sekolah yang memiliki kualifikasi cerdas istimewa atau jenius. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, ada 52,9 juta anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1,05 juta anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia. Akan tetapi, jumlah siswa cerdas/berbakat istimewa yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 4.510 orang. Artinya, baru sekitar 0,43 persen siswa cerdas/berbakat istimewa yang terlayani. Namun, layanan pendidikan yang didapatkan anak-anak cerdas istimewa ini belum mampu memunculkan keunggulan mereka. Terdapat pertanyaaan menarik dalam benak saya, sebenarnya factor apa yang menjadikan seorang anak dapat lahir dengan kemampuan otak yang jenius? Yang tentunya kalau boleh memilih setiap orang tua akan mengharapkan anaknya jenius dari pada anak yang memiliki kemampuan otak standar atau malah di bawah standar/autis atau bahkan ediot. Sebenarnya setiap anak terlahir dengan jenius tetapi kerap keluarganyalah yang menghancurkan kejeniusan anak tersebut. Ada empat pengaruh negatif keluarga yang dapat merusak kejeniusan anak,diantaranya:


1. Kelainan emosi.
Terjadi bila orang tua memiliki watak temperamental, mudah marah, meledak-ledak, tidak mampu menguasai emosinya. Dalam keluarga seperti ini seluruh vitalitas seorang anak akan hancur karena hardikan, bentakan, hinaan dan caci maki yang terjadi secara beruntun. Rasa ingin tahu dihukum atau diacuhkan dan kegembiraan dihimpit oleh selimut tebal kemurungan. Bila hidup dalam lingkungan ini anak tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengeksplorasi, melakukan kesalahan, menemukan berbagai gagasan dan melakukan banyak hal lain yang biasa dilakukan orang jenius. Dalam keluarga dimana kegelisahan melayang-layang di atas rumah laksana awan gelap yang menggayut, anak-anak akan kehilangan sifat jenaka mereka.


2. Kemiskinan.
Keluarga miskin kurang mampu memberikan lingkungan pembelajaran yang merangsang tumbuhnya kejeniusan anak. Kehadiran orang tua yang tidak berpendidikan dan berwawasan luas dalam keluaraga miskin mengakibatkan anak-anak dalam keluarga tersebut tidak menerima berbagai rangsangan intelektual secara verbal. Selain itu perawatan kehamilan yang buruk dan kekurangan gizi pada masa kanak-kanak dapat merusak otak anak pada awal kehidupan mereka, sehingga membatasi potensi mereka untuk mengembangkan kejeniusannya. Namun harus diingat kemiskinan bukan kesalahan mereka sendiri, kemiskinan sering terjadi karena adanya ketidakadilan politik dan ekonomi.


3. Gaya hidup instan.
Terjadi dalam keluarga yang secara financial mapan, orang tua super sibuk, tidak ada cukup waktu bagi anak-anak mereka. Kalaupun mereka mempunyai waktu akhirnya mereka memfokuskan diri pada kehidupan pembelajaran anak dan seringkali para orang tua ini berpikir untuk mendapatkan jalan pintas. Mereka seringkali menekan anak-anak mereka untuk mempelajari berbagai hal sebelum anak siap. Anak TK sudah diikutkan les membaca, bahasa Inggris, matematika dan lain-lain. Pun ketika mereka di SD makin banyak lagi berbagai les dijalani oleh anak sehingga mereka kehilangan waktu untuk bermain, bergembira. Meski dari luar mereka nampak seperti anak berprestasi tinggi, seluruh kejenakaan, rasa ingin tahu, kegembiraan, kreatifitasnya sudah dihancurkan.


4. Ideologi yang kaku.
Beberapa keluarga membesarkan anak-anak dalam suatu lingkungan ketakutan dan kebencian terhadap mereka yang tidak memiliki sistem kepercayaan yang sama. Yang menjadi permasalahan bukan merupakan inti dari sistem kepercayaan tersebut tetapi bagaimana anak-anak diajar untuk takut terhadap cara berpikir yang berbeda dengan kepercayaan mereka dan untuk membenci orang-orang yang berbeda dengan cara berpikir mereka. Dalam iklim seperti itu rasa ingin tahu anak untuk mengenali cara lain untuk mendapatkan pengetahuan dan prilaku menjadi terhenti, kepekaan mereka terhadap perbedaan menjadi tumpul dan sifat fleksibel mereka hilang. 




Duka Sang Jenius Di Indonesia


Apakah putra-putra terbaik Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa ini otomatis akan terjamin masa depannya? Pendidikan misalnya? Belum tentu. Pemerintah belum memiliki wadah khusus untuk anak-anak berprestasi, dengan meberikan beasiswa pendidikan, misalnya, atau menyalurkan ke sekolah-sekolah yang bisa mengembangkan bakat dan prestasinya. Yang cukup agresif justru negara tetangga seperti Singapura. Mereka tak segan meminang anak-anak cerdik ini untuk belajar di sana dengan beasiswa pemerintah. Buntutnya bisa ditebak ketika anak-anak ini siap bekerja, Singapura lah yang akan memetik manfaatnya 
Belum lagi ketika mereka kecil, saat IQ mereka yang di atas rata-rata belum mampu terditeksi, anak-anak jenius pada masa kecilnya terbanyak memang under-prestasi, maka ia disebut gifted with learning disabilities. Mereka memiliki kemampuan yang tak seimbang, antara kemampuan lisan dan aktivitas. Anak-anak yang sudah baik kemampuan berbicaranya, akan lebih baik dalam uji lisan daripada menulis. Dalam uji kemampuan IQ, pada anak-anak jenius yang mempunyai keterlambatan perkembangan bicara, uji kemampuan verbalnya menunjukkan skor yang sangat rendah, sedang skor performalnya tinggi, dan skor kreativitas rendah.


Gambaran seperti ini persis sama dengan gambaran IQ anak-anak autis. Namun skor kreativitas rendah bukan disebabkan ia tidak kreatif, tetapi lebih disebabkan karena ia menderita tidak percaya diri sebagai akibat dari frustrasi terhadap hasil karya dan perfeksionismenya.
Pada dasarnya, perkembangan dan pertumbuhan balita berbakat ini mengikuti norma
yang skalanya besar, waktunya singkat, sayangnya tidak sinkron. Tampak setiap perkembangannya bergelombang dengan skala yang besar, meledak-ledak, tetapi jangka waktunya tidak lama (tidak melebihi dua bulan), namun berkembang satu-persatu yang kemudian menjadikan tampak tidak harmonis dengan berbagai perkembangan yang seharusnya ada di masa balita. 
Gejalanya bisa diikuti sejak bayi itu dilahirkan, yaitu merupakan bayi yang sehat, berat dan mempunyai APGAR skor antara 9-10 pada menit-menit pertama. Ia mempunyai pertumbuhan berat badan yang sangat pesat di bulan-bulan awal, tetapi tiba-tiba berkembang secara tenang saat ia mulai banyak gerak. Mempunyai perkembangan motorik yang hebat luar biasa, terkadang tidak melalui masa merangkak, atau masa berjalan, terus berlari. Mampu manjat-manjat, menarik barang berat, dan sangat kuat. Mempunyai otot-otot yang sangat kencang. Gerakannya cepat dan kuat. Mempunyai kemampuan spatial yang baik, berlari cepat dan mengelak dengan sigap jika akan menabrak sesuatu benda. Periang, mempunyai rasa humor yang tinggi dan senang meledek dan bercanda-canda. 
Perkembangan bahasa dan kemampuan bicaranya sangat cepat dengan perbendaharaan kata yang luas, atau justru sangat terlambat bicara. Mengalami gangguan konsentrasi, berupa mudah terangsang pada bunyi-bunyian dan gerakan, mempunyai perhatian cepat berpindah-pindah, kekacauan konsentrasi, namun mampu mengonsentrasikan diri secara intens pada hal yang menjadi perhatiannya. Sering memperhatikan benda bergerak seperti roda, air mengalir, dan gerakan berulang membuka tutup pintu, menyalakan dan mematikan lampu, memainkan mobilan maju mundur ke atas dan bawah, mengucurkan air, memutar-mutar pentil radio serta televisi, dan sebagainya. 
Di usianya yang sangat dini, tiga tahun, sering terjadi loncatan perkembangan dimensi, ia mampu menggambar wajah orang terdekatnya, biasanya ayahnya. Menggambar berbagai figur hidup, manusia, binatang, lingkungan, dan alam raya. Mampu menyusun alat mainan Lego menjadi jembatan dan bentuk-bentuk tiga dimensi. Menyukai angka dan bilangan, mengenal dan mengingat berbagai macam logo-logo iklan, dan darinya ia mampu mengembangkan kemampuan membaca dan menulis. 
Keras kepala, perfeksionis, sering terfiksasi pada satu perhatian, tidak tahan rutinitas, mempunyai perkembangan rasa takut yang hebat, sangat emosional mudah berubah temperamen, spontan, sangat sosial, mudah frustrasi, dan pemain sandiwara yang ulung. 
Akibat dari ketidak stabilan perkembangan anak jenius ini, mereka kerap di posisikam dalam kategori “anak yang memiliki IQ di bawah standar” padahal sejatinya kita sendiri/orang-orang yang berada di sekelilingnya yang tidak mampu memahami kemauan anak jenius tersebut. Sedangkan untuk mengetahui potensi anak jenius memang cukup mudah hanya tes IQ saja tetapi tes IQ dapat dilaksanakan ketika anak berusia minimal 3Th, pejalanan dari usia 0 sampai dengan umur 3 Th inilah yang kerap menghancurkan bakat kejeniusan pada anak.


Dari pemaparan diatas. Pada dasarnya belum ada sekolah yang pas di dunia ini untuk menampung anak-anak jenius terutama di Indonesia, Akselerasi bukan sebuah solusi, karena bagi anak jenius cukup dengan waktu 3 bulan untuk memahami pelajaran dengan durasi 1Th, terlebih lagi tingkat kejeniusan masing-masing anak berbeda, ini juga menjadi masalah baru. Kak Seto berpendapat, pada masa sekarang Home Schooling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar