Senin, 16 April 2012

Ideologi Pendidikan Nasional



A. Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun umat manusia dalam menjalani hidup, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal, baik kualitas kehidupan maupun proses-proses merancang masa depannya. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau bangsa akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.
Dalam konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi oleh bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini, merupakan hasil dari kreatifitas produk suatu proses pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemauan yang dicapai dunia pendidikan selalu dibawah kemajuan dunia industri yang memakai produk lembaga pendidikan.
Pendidikan juga merupakan tumpuan setiap bangsa dalam meraih masa depannya, bahwa pendidikan bertujuan untuk memberi bekal moral, intelektual, dan ketrampilan kepada anak manusia agar mereka siap menghadapi masa depannya denga penuh percaya diri. 
Selain itu, pendidikan merupakan usaha sadar yang memiliki tujuan, yang tentunya memiliki suatu landasan. Bagi suatu bangsa, proses pendidikan tidak lepas dari filosofi dalam kultur bangsa di mana proses pendidikan itu berlangsung. Filosofi dan kultur bangsa yang akan menentukan idealisasi manusia seutuhnya, yang kemudian akan menentukan materi dan pengetahuan yang akan disampaikan dan bagaimana cara penyampaian dilakukan. Berkaitan dengan ini, penulis mencoba mengkaji tentang ideologi pendidikan yang digunakan oleh suatu bangsa khususnya Indonesia demi tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan.

B. Pembahasan
1. Pengertian Ideologi
Secara etimologis, ideologi berasal dari dua suku kata yaitu ’idios’ yang berarti ide atau konsep dan ’logos’ yang berarti ilmu; sehingga ideologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ide-ide manusia, atau ilmu tentang ide-ide. Secara terminologis, ideologi diartikan oleh Lyman Tower Sargent dalam bukunya Contemporary Political ideologies yang dikutip William F. O’Neil, sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi berupaya menggambarkan mengenai karakteristik-karakteristik umum tentang alam dan masyarakat; serta keterkaitan antar hakekat moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif. Pendapat D. Tracy yang dikutip oleh Aryanto Abidin, mengartikan ideologi adalah sebuah pemahaman atau ide konseptual yang mampu melihat wajah dunia dengan ketertarikannya pada masalah-masalah sosial dan mampu menawarkan pemecahan masalah dalam suatu lembaga kemasyarakatan.
Ideologi sering diartikan sebagai sekumpulan konsep bersistem dan sering pula dipahami sebagai paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik. Dalam kajian ilmu sosial, ideologi memiliki dua pengertian yang berbeda yaitu pengertian secara fungsional dan pengertian secara struktural. Secara fungsional, ideologi diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama, atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan secara struktural, ideologi berarti sebagai sistem pembenar, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. 
Ideologi juga diartikan sebagai pandangan dunia atau weltanschauung. Sehingga masyarakat yang memiliki dan menganut ideologi tertentu akan memperoleh cara hidup dan dan cara pandang dalam kehidupannya secara kokoh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan cara hidup dan cara pandangnya.

2. Ideologi dan Pendidikan 
Dalam kehidupan yang nyata, ideologi selalu menentukan arah hidup suatu masyarakat. Setiap masyarakat modern mempunyai ideologi yang menjadi panutan atau life style yang membimbing arah perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan pendidikan, ideologi diartikan sebagai seperangkat aturan yang diyakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan dalam rangka mencapai tujuan. Mayoritas masyarakat memiliki keinginan untuk maju berkembang menjadi lebih baik. Keinginan tersebut selalu diupayakan melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui kegiatan pendidikan. Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, kegiatan pendidikan selalu terkait dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat lainnya. Seperti kehidupan ekonomi, sosial, politik, agama, dan kebudayaan masyarakat yang masing-masing mengalami fluktuasinya menuju pada pola-pola perkembangan masing-masing yang saling mempengaruhi. 
Pada umumnya praktek penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat dilatar belakangi adanya pertimbangan-pertimbangan subyektif masing-masing masyakat berupa filosofi, nilai-nilai, serta suatu prinsip yang dipilih. Pertimbangan-pertimbangan subyektif tersebut sebenarnya dapat dimengerti, mengingat proses dan praktek pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan-keinginan masyarakat dalam mewujudkan kehendaknya. Kehendak masyarakat yang dimaksud merupakan sebuah cita-cita sosial, kemana penyelenggaraan pendidikan diarahkan. Perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi. Dengan merunut pertimbangan dari kehendak masyarakat atau cita-cita sosial tersebut, maka praktek penyelenggaraan pendidikan baik yang berlangsung di sekolah maupun luar sekolah pada umumnya mempunyai dua peran penting yang berbeda. Pada satu sisi, proses pendidikan berperan melegitimasi bahkan melanggengkan sistem serta struktur sosial yang ada (status quo); pada sisi lain proses pendidikan berperan sebaliknya yaitu membangun atau merubah tatanan sosial menuju yang lebih adil. 
Dua peran yang berlawanan tersebut sebenarnya merupakan pantulan (reflection) dari kehendak serta cita-cita sosial yang berbeda dari suatu masyarakat. Oleh karenanya, ia tidak sekedar memberi informasi tentang dunia ini sebenarnya tetapi juga merupakan petunjuk yang bersifat imperative bagaimana seharusnya manusia/masyarakat bertindak.
Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperative dan evaluatif tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan atau struktur sosial masyarakat dibangun. Dengan demikian, ideologi sosial suatu masyarakat mempengaruhi formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada banyak kasus yang sudah ada. Misalnya masyarakat yang menganut ideologi sosialis akan berupaya membentuk formasi sosial masyarakatnya menjadi bersifat sosialis pula; masyarakat penganut ideologi liberalis akan berusaha menjadikan tatanan sosial masyarakatnya menjadi lebih liberalis pula; serta masyarakat yang menganut ideologi berdasarkan agama maka akan berusaha menjadikan masyarakatnya menjadi tipe masyarakat yang agamis. Oleh karenanya, satu hal yang perlu diperhatikan menurut Tila’ar dalam memahami ideologi adalah bahwa ideologi tidak cukup hanya dipandang rasionalistik sebagai suatu yang disadari, tetapi perlu memperhitungkan aspek-aspek afektif, ketidak sadaran, dan simbolis dari ideologi. Aspek-aspek afektif misalnya, menentukan bagaimana seseorang hidup dengan relasinya yang spontan terhadap struktur kekuasaan dalam kehidupan masyarakatnya. 
Dalam kajian ilmu pendidikan diketahui bahwa proses pendidikan selalu mempunyai tujuan. Selain itu, dalam uraian mengenai hakikat pendidikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang performatif berdasarkan pada refleksi, maka proses pendidikan berarti mempunyai tujuan untuk mewujudkan suatu transformasi sosial. 
Karakteristik proses pendidikan mempunyai tiga sifat utama, yaitu: 1) proses pendidikan merupakan suatu tindakan performatif, artinya yang diarahkan kepada tindakan untuk mencapai sesuatu. Tindakan tersebut bukan hanya bermanfaat bagi individu dalam proses individuasi tetapi juga dalam kerangka partisipasi dengan sesama untuk mewujudkan kemajuan bersama. 2) Tindakan pendidikan merupakan tindakan reflektif, artinya dari pelaksanaan pendidikan dikaji benar akan akuntabilitaas tindakan tersebut, atau sampai di mana tindakan tersebut bermanfaat bagi pengembangan individu dan sekaligus bermanfaat bagi kemaslahatan bersama. 3) proses pendidikan merupakan suatu tindakan yang sadar tujuan. Artinya, pendidikan itu dituntun oleh suatu sistem norma dan nilai-nilai yang secara reflektif telah dipilih untuk peserta didik. Sadar tujuan ini mempunyai dua aspek atau dalam istilah Pierre Bourdieu, ”doxa”. Ada dua jenis doxa, yaitu doxa intern dan doxa ekstern. Doxa intern ialah sumber kuasa yang berada dalam diri peserta didik, yaitu keinginan untuk menjadi seorang individu. Dalam istilah Poggi, individu itu ingin menyatakan sesuatu dalam dirinya sendiri (homo potens). Doxa ektern adalah kekuasaan ektern yang membimbing praksis pendidikan ke arah tertentu. Inilah wilayah pelaksanaan ideologi sebagai sumber kekuasaan dalam mengarahkan proses pendidikan.

3. Fungsi dan Peran Ideologi bagi Pembangunan Pendidikan. 
Keberadaan ideologi pendidikan yang beraneka macam dengan penganut dan pengikut masing-masing, sebenarnya hadir sesuai dengan konteks kebutuhan masyarakat pengikutnya. Kehadiran ideologi-ideologi pendidikan bagi masing-masing masyarakat sebenarnya mempunyai fungsi dan peranan penting. Menurut Sisti Kusujiarti, ideologi dapat mempengaruhi kehidupan nyata individu masyarakat dengan mengatur dan memberikan batas-batas terhadap aktivitas keseharian masing-masing individu. Ideologi menggunakan kehidupan dan bahasa sehari-hari sebagai sarana untuk mempengaruhi pengalaman nyata manusia. Ideologi menyediakan suatu cara hidup dan cara pandang untuk menghadapi dunia nyata.
Menurut beberapa ahli, ada dua sisi yang berbeda mengenai akibat yang ditimbulkan dari ajaran ideologi. Satu sisi, dengan adanya ajaran cara hidup dan cara pandang dari suatu ideologi pada akhirnya dapat mendorong munculnya gerakan bersama masyarakat untuk menata kehidupannya menjadi lebih baik: bahkan lebih dari itu dapat pula menghasilkan sentimen emosional para anggotanya untuk mendukung, meneguhkan, dan kepatuhan terhadap ajaran ideologi dalam rangka mencapai tujuan bersama (tujuan ideologi). 
Dengan demikian, masyarakat yang telah memiliki dan menganut Ideologi pendidikan akan memperoleh cara hidup dan cara pandang dalam menyelenggarakan pendidikan secara kokoh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan cara hidup dan cara pandangnya. Hal tersebut selanjutnya dapat dipakai untuk menciptakan kondisi tertentu yang dapat membantu keberhasilan dalam menumbuhkan, membangun jejaring, dan mengorganisir segenap sumberdaya pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Sebaliknya, masyarakat yang belum atau kurang memiliki dasar ideologi pendidikan yang jelas, selanjutnya akan gamang dan mengalami kesulitan dalam menumbuhkan, membangun jejaring, dan mengorganisir segenap sumberdaya pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan. Akibatnya jika dalam pembangunan pendidikan tanpa memiliki akar ideologi yang jelas maka perbaikan pendidikan akan berakhir secara tragis tanpa hasil yang signifikan.


4. Pancasila sebagai Ideologi Pendidikan Nasional.
Memperbincangkan Ideologi pendidikan nasional, tentu tidak bisa lepas dari diskursus tentang Ideologi negara Indonesia, karena ideologi negara adalah ideologi yang melandasi segala kebajikan dalam kehidupan bernegara.
Sebagaimana kita ketahui ideologi yang dipakai negara Indonesia adalah Pancasila. Konsekuensi logisnya, segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada pancasila, sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Kebijakan-kebijakan dalam masalah ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, juga pendidikan misalnya, harus selaras dengan nilai-nilai luhur dan semangat Pancasila.
Indonesia adalah sebuah bangsa yang terbentuk atas dasar konfigurasi multi etnik dan multi-kultural, hal itu menyebabkan bangsa Indonesia memiliki ancaman terjadinya disintegrasi paling tinggi di dunia. Sebaran kehidupan kelompok-kelompok yang mendiami wilayah dari sabang sampai merauke tersebut terdiri dari aneka ragam kelompok yang berbeda atas dasar kesukuan, etnisitas, kedaerahan, bahasa, adat istiadat, dan agama. Maka tidak heran bila Nasikun menyebutkan perlu adanya konsensus bersama antar kelompok tentang ”nilai-nilai dasar” yang disepakati.
Pancasila sebagi ideologi nasional Indonesia merupakan seperangkat nilai dasar yang telah disepakati bersama antara kelompok masyarakat dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda namun tetap satu (unity in diversity). Dengan semboyan ini diharapkan perbedaan antar kelompok suku, etnis, adat istiadat, bahasa dan agama di Indonesia tidak akan mendatangkan bencana akan tetapi justru mendatangkan keuntungan.
Ideologi pancasila tersebut memiliki lima prinsip nilai yang bersifat dasar yang merupakan ajaran dasar yang dipedomani oleh seluruh warga bangsa baik dalam tataran individu maupun kelompok di Indonesia. Kelima nilai dasar itu adalah: (a) ketuhanan yang Maha Esa, (b) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (c) persatuan Indonesia, (d) kerakyatan yang dipeimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarahan/ perwakilan., (e) keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Kesemuanya terjalin satu sama lain menjadi satu kesatuan nilai yang utuh. 
Ideologi pancasila memiliki karakter utama yaitu sebagai Ideologi nasional bangsa Indonesia. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara banngsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya.
Ideologi pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia telah disepakati oleh para pendiri bangsa menjadi sebuah desain negara modern Republik Indonesia, dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa. 

5. Problem Ideologi Pendidikan Nasional
Dalam masalah pendidikan, misalnya, pasal 33 UUD 1945, tujuan pendidikan yang telah terumuskan secara eksplisit pada beberapa dokumen yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950, 1954, 1965, 1966, dan 1973, semuanya selaras dengan nilai-nilai Pancasila, termasuk Undang-undang Sisdiknas, yang di dalamnya memuat tujuan pendidikan, ia bukanlah sebuah undangan-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, dan lain-lain. 
Namun ke-Ideologi-an Pancasila dalam pendidikan tidaklah berjalan mulus tanpa tantangan. Keadaan Pancasila bahkan seperti ”pingsan dalam kedudukan”, untuk tidak mengatakan mati. Keberadaannya hanya sebagai simbol yang tidak berpengaruh, butiran-butirannya hanya formalitas kemanusiaan atau berhenti pada dataran konsep yang tak pernah ingin dicapai. Dalam segi praktis, penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila oleh orang yang seharusnya mengamalkan semakin menjadi-jadi. Kasus korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah kasus yang selalu menghiasi pemerintahan negara kita. Selain itu, ideologi Pancasila dalam proses pendidikan kewarganegaraan di lembaga-lembaga pendidikan, karena ditanamkan secara hafalan atau dijadikan mata pelajaran yang diwajibkan untuk diujikan. Juga kegagalan pada program pengembangan ideologi Pancasila di masa lalu melalui Program P4. 
Pancasila sebagai ideologi dalam pendidikan, bukan hanya mengandung aspek-aspek rasional tetapi juga mengandung aspek emosional yang berarti mengembangkan intelegensi spiritual dan intelegensi emosional dari peserta didik, sebagaimana halnya setiap ideologi dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Selanjutnya, Ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka memerlukan pembinaan, di antaranya dengan penghayatan dari nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan yang nyata dari peserta didik, melibatkan perkembangan rasio dan emosi, bukan karena hafalan dan paksaan. 
Ideologi dalam proses pendidikan perlu mengembangkan program-program pemantapan dengan, antara lain, kajian-kajian rasional dari pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, oleh semua lapisan masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pancasila sebagai guiding principles dalam proses pendidikan. Sebagai suatu ideologi, Pancasila perlu mendapatkan nilai uji dalam ketahanannya. Ketahanan Pancasila sebagai ideologi terletak dalam kondisi dinamisnya, yaitu keberdasarkan Pancasila dari adat-istiadat atau kebudayaan masyarakat yang mempunyai aspek historis. Kondisi dinamis dari Pancasila menunjukkan keuletannya, terbukti dalam implementasinya yang berhasil dalam kehidupan bersama masyarakat Indonesia.
Suatu ideologi akan lestari kalau terbukti keuletannya atau ketahanannya dalam ujian kehidupan bersama. Sesuai dengan kandungan historis dari ideologi Pancasila tentunya diperlukan pembinaan agar ketahanan tersebut semakin lama semakin kuat. Terdapat tiga kegiatan untuk pembinaan ketahanan Pancasila sebagai ideologi. 1) Pengamalan Pancasila dalam kehidupan bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan setiap warganegara. Tanpa pengamalan tidak ada pengujian terhadap keuletan sehingga nilai-nilai tersebut akan hilang atau melemah. 2) Nilai-nilai Pancasila mempunyai relevansi dengan kehidupan yang terus menerus berubah. Kondisi masyarakat, kondisi dunia yang dinamis menuntut penyesuaian nilai-nilai pancasila dalam menghadapi problem kehidupan yang semakin meningkat. Tingkat relevansi Pancasila atau akuntabilitas nilai-nilai Pancasila perlu dikonstruksi sesuai dengan tuntutan zaman. 3) proses inkulkasi (inculcation) Pancasila sebagai ideologi yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sebagai suatu sistem nilai yang terus berkembang maka diperlukan proses yang terus-menerus kepada generasi ke generasi selanjutnya. Di dalam proses inkulkasi tersebut ada beberapa hal yang perlu ditonjolkan dalam membina masyarakat Indonesia, antara lain konsep wawasan nusantara. Konsep wawasan nusantara menekankan kepada pentingnya persatuan bangsa Indonesia, kesatuan wilayah Indonesia, dan sikap yang wajar terhadap kebhinekaan. 
Kegiatan-kegiatan yang telah dikemukakan mengenai ideologi Pancasila dalam proses pendidikan tidak lain sebagai pendidikan kewarganegaraan yang dikenal dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan sangat penting dalam pembinaan ideologi pancasila. Ideologi tersebut sangat penting dalam menggalang kesatuan bangsa Indonesia, namun perlu hati-hati dalam perumusan dan metodologinya karena dalam prosesnya seseorang dapat jatuh kepada praktik-praktik yang justru bertentangan dengan proses pendidikan dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pada masa lalu, ideologi Pancasila diartikan sebagai suatu proses indoktrinasi dari pemerintahan kepada generasi muda melalui pendidikan kewarganegaraan. Hasilnya justru akan berbeda karena melalui indoktrinasi tujuan yang akan dicapai justru akan mengalami kegagalan karena caranya yang berlawanan dengan hakikat pendidikan.
Apabila kita mengambil salah satu perspektif mengenai ideologi sebagai rangkaian ide yang menata kehidupan masyarakat, atau dalam istilah lain sebagai proses inkulkasi untuk mengikat kehidupan dalam masyarakat, maka dalam pengertian itu terselip kekuasaan yang dilegitimasikan untuk melaksanakan proses inkulkasi tersebut. Legitimasi tersebut berada pada negara. Walaupun proses inkulkasi ideologi pancasila berada pada negara, tapi bukan berarti negara mempunyai kekuasaan sewenang-wenang untuk melaksanakannya. Dalam proses pendidikan, inkulkasi ideologi pancasila harus berjalan sesuai dengan hakikat pendidikan, yaitu tidak menghilangkan makna pendidikan sebagai proses pemberdayaan.
Ideologi punya konotasi paksaan. Oleh sebab itu, perlu diambil jalan yang sesuai dengan proses pendidikan yang pada hakikatnya anti terhadap segala jenis paksaan. Namun, demikian, karena ideologi telah merupakan suatu kesepakatan bersama maka unsur paksaan tersebut merupakan penyelewengan yang perlu (necessary evil). Menurut pendapat penulis, terdapat perbedaan antara paksaan dan kewajiban moral. Suatu paksaan membayangkan adanya hubungan subordinasi antara yang mempunyai kekuasaan dan yang dikenai oleh kekuasaan tersebut. Kewajiban yang mempunyai kekuasaan berdasarkan legitimasinya dari hukum positif maupun dari adat-istiadat dan sebagainya. Dalam kewajiban yang bermoral maka hubungan subordinatif tidak dikenal. Kewajiban yang bermoral mengandalkan adanya alternatif-alternatif yang dipilih oleh subjek kekuasaan terhadap alternatif-alternatif berdasarkan rasio serta kemampuan emosional dan spiritual dari sujek tersebut. Inilah yang disebut pilihan yang bermoral oleh manusia yang bertanggung jawab karena mempunyai potensi-potensi untuk melaksanakannya. Manusia adalah homo potens. Jadi, yang penting di sini kita lihat adanya situasi-situasi yang memerlukan pilihan. Proses pendidikan tidak dapat terjadi dalam situasi yang monolog, tapi dalam situasi yang dialog dan kondisi yang riil. Tanpa kondisi yang riil yaitu pelaksanaan dari nilai-nilai ideologi secara nyata maka tidak mungkin diadakan kajian-kajian yang obyektif dan pengambilan alternatif yang sesuai dengan potensi individu. Pendidikan kewarganegaraan ataupun pendidikan budi pekerti yang berkenaan dengan kewajiban individu sebagai warganegara akan tidak bermakna apabila merupakan adegan-adegan monolog dan tanpa menganalisa kejadian-kejadian nyata di masyarakat. Kalau hal ini yang terjadi, maka hasilnya adalah kepribadian yang sizofrenik atau kepribadian yang terpecah karena terdapat perbedaan antara praktik kehidupan dan apa yang diajarkan di lingkungan pendidikan. Kita lihat di sini betapa proses belajar yang demikian dapat melahirkan masyarakat yang dicita-citakan, yaitu masyarakat demokratis Indonesia. Inti dari demokratis adalah keberadaan pilihan-pilihan dan pemilihan alternatif yang sehat dan bermanfaat bagi individu dan bagi sesama. Dengan demikian, ideologi Pancasila akan merupakan suatu ideologi yang terbuka, terprogram untuk perubahan-perubahan sesuai dengan kondisi transformasi sosial dalam masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia. Selain itu, ideologi Pancasila akan diuji kemampuannya atau akuntabilitasnya dalam kemungkinan timbulnya ideologi yang lain di masyarakat Indonesia. 

C. Kesimpulan
Dari Deskripsi di atas dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat. Selanjutnya, sebagai usaha sadar yang memiliki tujuan, pendidikan sudah tentu memiliki landasan (ideologi). Berangkat dari ideologi inilah pendidikan nasional dikembangkan. Ideologi dimaksud adalah ideologi yang juga melandasi negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Pada hakekatnya, sebagai ideologi dalam pendidikan, pancasila bukan hanya mengandung aspek-aspek rasional tetapi juga mengandung aspek emosional yang berarti mengembangkan intelegensi spiritual dan intelegensi emosional peserta didik, sebagaimana halnya setiap ideologi dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Selain itu sebagai ideologi terbuka, pancasila memerlukan pembinaan, di antaranya dengan penghayatan nilai-nilai pancasila ke dalam kehidupan nyata, yang melibatkan perkembangan rasio dan emosi peserta didik dan bukan karena hafalan dan paksaan. Selain itu, juga perlu mengembangkan program-program pemantapan, antara lain dengan kajian-kajian rasional dari pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, oleh semua lapisan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar